Sumber Photo: (Camrade Oskar Gie)
"SENJA DI RUMAH KUBUR, PAHLAWAN PERJUANGAN PAPUA MERDEKA
(MR. THEYS ELUAY) YANG BISU"
(MR. THEYS ELUAY) YANG BISU"
Mantel hitam yang dikenangkanmu, memutih abadi oleh salju Jaya Wijaya. Aku hanya bisa melihat taburan bunga-bunga mekar yang tumbuh segar oleh hujan air mata setiap kita di kiri jalan pembebasan, yang mengartikan dukacita bahwa kau “Theys Iluay” (RIP) telah berbaring dengan tenag disana untuk selama-lamanya bersama mereka para pendahulu kita di medan juang ini.
Terpojok sejenak di tepi senja rumah kuburmu yang bisu. Aku pun bangkit dengan mata basa, dengan air mata duka, dan hati yang penuh belas kasihan. Diam-diam aku menucapkan selamat tinggal kepadamu. Sebab kata-kataku tidak berkuasa menghibur hatimu yang terluka bagi setiap jiwa-jiwa yang di tindas mereka semasa hidupmu; dan pengetahuanku tak memiliki obor untuk menerangi dirimu yang murung di tiap medan juang akan pembebasan kemanusiaan bagi kemerdekaan kita yang di curi oleh mereka, si penjajah dan memodal kanibalisme.
Ditepi senja ini juga, mungkinkah wajahku yang berserih kemanusiaan pada dirimu ini, mampuh menyembunyikan jiwa yang buruk dan hati yang jahat dari setiap dusta penindasan mereka?
Andai kata mereka itu ular berbisa, bukankah telah kita ketahui bersama bahwa elok kecantikan sandirwara mereka itu adalah penyebab banyak tekanan serta penderitaan tersembunyi, yang selalu terselubung akan pembunuhan berganda hingga menghabisi kita semua satu persatu hanya karena tambang rakyat cenderawasi kita yang kaya raya itu ?
Namun selalu pada kesadaran kemanusiaan kita bersama di tiap gumpalan kiri, bahwa kita akan bangkit melawan. Sebab bintang kejora yang indah, yang menginspirasikan kau dan para pejuang lainnya, juga merupakan bintang yang membuat keheningan lautan kemanusiaan mengamuk dengan derunya yang mengerikan untuk melawan bersama, demi perlawanan akan penindasan kolonialisme, militerisme, dan kapitalis-imperialis global saat ini, yang berserahkan kejahatannya dimana-mana.
Lalu melihatmu dalam kesadaran juang bagi kemanusiaan kita, aku merasa seolah-olah kau dan rumah kubur yang sepi dilanda ribuan korban tak berdosa oleh penindasan mereka, telah merangkul kita dengan bisa perlawanan bagi kebenaran sejarah bangsa kita West Papua (1 Desember 1961). Namun terbius oleh tangisan keluarga kita yang merasa ada suatu ketidakadilan akan jiwa yang merana ditiap saat, apakah ini takdir atau sebuah masa depan yang dicita-citakan bersama ?
Oh disini, sejenak meremuk jiwa perlawanan pada senja di rumah kubur yang bisu ini. Biarlah caraku untuk meratapimu dan jiwa-jiwa yang harus (sudah) pergi tanpa pamit, ialah :
Biarkanlah bunga-bunga
yang disiram dengan air mata kita.
Penuh kerinduhan tanpa pertemuan yang dirindukan,
tertancaplah mekar diatas kuburmu
hingga kelayuan daunnya yang akan gugur
untuk menyampaikan pesan cinta kita kepadamu.
Oh’ akan mekarlah juga jiwa-jiwa yang telah dipilih
oleh kasih akan kemanusiaan
dan diberkati di antara rakyat yang melawan
untuk amanat masa depan rakyat yang sedang ditindas.
tetaplah kita pada langkah yang sama di kiri jalan
bagi sejarah pembebasan bintang kejora “West Papua Meke”
hingga berjumpah di pelaminan kebebasan semua orang.
Sumber Data : (https://www.facebook.com/oskar.hamberi)
Penulis : (Oskar H - Cemaradua, 24 Mei 2018)
Editor : Kevin Helokpere, Surabaya, 29 Agustus 2018 - 19:37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar