Sabtu, 30 Juni 2018

,
RATUSAN PENELITI MADYA DIPENSIUNKAN
BAGAIMANA NASIB RISET? 

Ilustrasi penelitian stem sel. Getty Images/iStockphoto




Muhammad Dimyati menolak anggapan bahwa regulasi yang mengatur soal Batas Usia Pensiun (BUP) peneliti kontraproduktif.
Puluhan orang yang menamakan diri Peneliti Korban PHK Asosiasi Peneliti Madya Indonesia melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/6/2018). Mereka mengkritik kebijakan pemerintah soal Batas Usia Pensiun (BUP) bagi Pejabat Fungsional Peneliti Madya yang diatur dalam PP No. 11/2017 tentang Manajemen PNS. 

Ketua Peneliti Korban PHK Asosiasi Peneliti Madya Indonesia, Masri Wendy Zulfikar mengatakan, akibat kebijakan itu, 208 peneliti madya dipensiunkan mendadak pada 2017. Secara kumulatif jumlah ini akan bertambah menjadi 556 yang berpotensi pensiun dalam waktu dekat, sementara 1.188 peneliti madya berpotensi pensiun dalam kurun 5 tahun ke depan.

Artinya, kata Wendy, setiap bulan rata-rata 15 orang Peneliti Madya akan dipensiunkan. “Sebanyak 12 persen peneliti Indonesia akan hilang berapa pun jumlahnya,” kata Wendy kepada Tirto, di Jakarta, Kamis kemarin. 
Hal itu adalah imbas pemberlakuan PP No.11/2017 yang terbit pada 7 April 2017. Regulasi ini mengatur soal Batas Usia Pensiun (BUP) yang ditentukan pada Pasal 239 ayat (2) huruf b, yang menyebutkan bahwa BUP pejabat fungsional madya 60 tahun. 

Regulasi itu merevisi aturan yang telah berjalan 39 tahun di era pemerintahan 6 presiden sebelum Joko Widodo. Berdasarkan PP sebelumnya, yaitu PP No. 21/2014 tentang Pemberhentian PNS menyebut bahwa jabatan fungsional Peneliti Madya dan Peneliti Utama yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian BUP-nya 65 tahun.

Wendy mengatakan saat ini angka rasio peneliti dengan jumlah penduduk di Indonesia adalah 89 peneliti berbanding satu juta penduduk. Hal ini, kata dia, kalah jauh bila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, seperti jumlah peneliti Brasil yang mencapai 700 orang per 1 juta penduduk, Rusia 3.000 peneliti per 1 juta penduduk, dan India 160 per satu juta penduduk.

“Kalau kami baru 89 orang. Jadi, kalau kita mau maju, sama kayak mereka [negara-negara maju] minimum mereka [pemerintah] menaikkan jumlah peneliti untuk bisa menggerakkan semua inovasi, kemandirian dan daya saing,” kata Wendy.
Sehingga, kata Wendy, bisa dibilang bahwa kebijakan pemerintah saat ini kontraproduktif dengan tujuan pembangunan bangsa. “Dia [Presiden Jokowi] punya cara sendiri yang saya tidak mengerti. Contoh dia mau melihat daya saing Indonesia naik, tapi gimana daya saing kita naik, ketika kita tidak memiliki orang-orang yang memang sengaja [meneliti] untuk itu. Jumlahnya sangat sedikit,” kata Wendy.

Menurut Wendy, PP No. 11/2017 juga tidak selaras dengan UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan (Sisnas P3 Iptek) yang mengamanahkan kepada pemerintah untuk menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sisnas P3 Iptek. 
Baca juga:

Sementara itu, Sekretaris Peneliti Korban PHK Asosiasi Peneliti Madya Indonesia, Sigit Asmara Santa mengatakan, PP No. 11/2017 justru memperburuk cerminan kemajuan penelitian di Indonesia. Selain soal jumlah peneliti yang sangat terbelakang dibandingkan negara-negara lainnya, ada pembiayaan penelitian yang masih sangat jauh tertinggal. 
“Sekarang, jumlah biaya penelitian di Indonesia itu masih terbontot di dunia. Hanya 0,1 persen maksimal biaya riset per PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Sedangkan, di AS dan negara maju lainnya bahkan di Israel bisa 5-6 persen dari DGP,” kata Sigit. 
Sigit menyatakan kebijakan pemerintah memensiunkan Peneliti Madya juga terkesan prematur. Alasannya, dalam PP maupun UU yang digunakan sebagai landasan hukum memensiunkan mereka yang berprofesi sebagai Peneliti Madya tidak menyebut istilah “Peneliti Madya,” melainkan jabatan fungsional madya. Menurut Sigit, kedua istilah itu tidak bisa disamakan.

Selain itu, kata Sigit, terdapat juga Peneliti Madya yang dipensiunkan sebelum petunjuk teknis (Juknis) diberikan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). Juknis pertama kali keluar pada 15 September 2017, kemudian ada revisi dan terbit yang kedua pada 3 Oktober 2017. 
Sigit menambahkan, penerapan aturan tersebut juga diskriminatif. Menurut dia, Peneliti Madya yang berumur lebih dari 60 tahun pada saat diberlakukannya PP 11/2017 dikecualikan dari ketentuan pensiun 60 tahun. Mereka tetap dipensiunkan saat berusia 65 tahun. 
Hingga saat ini, kata Sigit, pihaknya belum pernah mendapat penjelasan pemerintah soal alasan pemotongan Batas Usia Pensiun (BUP) Peneliti Madya dari 65 menjadi 60 tahun. “Penggantian 65 jadi 60 tahun tidak pernah terungkap secara jelas,” kata Sigit. 
Baca juga:

Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal (Dijen) Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, Muhammad Dimyati mengatakan, PP No. 11/2017 merupakan amanat dari UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ANS), salah satunya untuk mengatur masa pensiun pegawai negeri (PNS). 
Dimiati mengatakan, regulasi itu tidak hanya mengatur BUP peneliti madya, namun juga PNS secara umum dan fungsional. “Sebetulnya itu enggak peneliti madya saja yang dipangkas itu. Itu ada penelii ahli pratama jadi 58 [tahun] juga, yang 60 [tahun] itu yang peneliti madya, ahli utama tetap 65 tahun,” kata Dimiyati kepada Tirto, Jumat (29/6/2018).

Secara aturan, kata Dimyati, pegawai negeri yang sudah masuk BUP, tetap harus pensiun. Namun demikian, kata dia, ada kebijakan untuk beberapa kategori PNS yang tetap diperbantukan secara internal untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung. 
“Peneliti yang bagian dari ASN/PNS, maka tergantung dengan kebijakan atau institusi yang bersangkutan. Kalau institusi dari kesehatan, maka kesehatan, LIPI, dan lain-lain,” kata dia. 
Karena itu, kata Dimyati, ASN atau peneliti saat merencanakan kegiatannya harus disesuaikan dengan banyak hal, termasuk salah satunya soal usia yang bersangkutan. Prinsipnya, kata dia, meskipun menurut aturan harus berhenti, namun bisa saja ada kebijakan internal institusi.

Selain itu, Dimyati juga menolak anggapan bahwa regulasi yang mengatur soal BUP peneliti itu kontraproduktif. Saat ini, kata dia, pihaknya sedang mendorong UU Sinas P3 Iptek untuk memberikan kekhususan bagi para peneliti, misalnya bagi peneliti yang masih produktif tetap tidak langsung dipensiunkan. 
“Kalau dia dalam catatan fungsional madya misalnya, dia lama enggak meneliti di umur 58 dan 60 tahun, maka dia pensiun. Tapi kalau dia masih meneliti, cuma kurang persyaratan untuk menjadi peneliti utama, ya dievaluasi, dikasih waktu berapa lama lagi,” kata dia. 
Dimyati menambahkan “kami sedang mendorong dalam tahap itu. Sekarang pemerintah sedang mengevaluasi kerja ASN, termusuk peneliti berdasarkan kinerjanya.” 

Peneliti Madya, Sri Kuncoro mengatakan, pemotongan BUP Peneliti Madya tentu dapat mempengaruhi kinerja penelitian. Menurut dia, secara kumulatif jumlah peneliti berkurang, dan ada gap besar antara peneliti madya dengan peneliti junior di bawahnya. 
Kuncoro mencontohkan bidang penelitian yang ditanganinya, yaitu radiasi nuklir. Menurut dia, gap pengalaman antara peneliti madya dengan tingkatan peneliti di bawahnya ada 20 tahun. “Nah, jenjang itu gap-nya jauh, yang menyenangi bidang radiasi nuklir, seperti saya. Baru anak baru yang selisih pengalamannya 20 tahun, masak 20 tahun bisa dikejar? Enggak bisa kan,” kata Kuncoro.

Ia menerangkan, penelitian bukan sesuatu yang bisa dikerjakan saat ini juga, melainkan harus melalui jenjang karier yang bertahap panjang untuk mengasah kemampuan menciptakan produk penelitian. 
Kuncoro lantas menjelaskan soal cakupan pekerjaannya dalam membuat proteksi radiasi nuklir saat reaktor beroperasi. Penelitian tersebut, kata dia, berguna untuk mengeksplorasi manfaat nuklir dengan mengantisipasi munculnya bencana nuklir yang terjadi, seperti di Fukushima Daiichi, pada 11 Maret 2011. 
“Dan itu berapa tahun kami melakukan itu? Saya sendiri sudah bekerja 30 tahun di bidang itu,” kata Kuncoro.

Ia menambahkan “junior saya, anak yang baru masuk 1 tahun. Saya dan Pak Sigit sebentar lagi pensiun, siapa yang akan menangani setelahnya? Ya nanti kalau ada pekerjaan tentang desain reaktor untuk proteksi radiasi dan sebagainya, bisa jadi enggak ada yang mengerjakan. Itu kerugian berapa miliar,” kata dia. 
Karena itu, kata Kuncoro, pihaknya akan tetap berjuang menolak kebijakan pemerintah yang diatur dalam PP No. 11/2017. Menurut Kuncoro, dirinya bersama dengan para Peneliti Madya yang tersebar di 43 kementerian/non-kementerian berencana untuk melakukan aksi demo lebih besar dan akan mengembalikan Satyalancana Karya Satya para Peneliti Madya, sebagai ungkapan kekecewaan.
“Pengabdian selama 30 tahun kami kembalikan kepada Jokowi. Itu adalah klimaks kami karena tidak menghargai pengabdian kami, maka akan kami kembalikan seluruh Satyalancana Karya Satya,” kata Kuncoro. 
Lantas, bagaimana dengan nasib penelitian di Indonesia ke depan?
Baca juga artikel terkait PENELITIAN atau tulisan menarik lainnya Shintaloka Pradita Sicca
(tirto.id - Pendidikan).

"Peneliti Madya, Sri Kuncoro mengatakan, pemotongan BUP Peneliti Madya dapat mempengaruhi kinerja penelitian"


Sumber Data: Shintaloka Pradita Sicca,https://tirto.id/ratusan-peneliti-madya-dipensiunkan-bagaimana-nasib-riset-cNe4?utm_source=PushNotif&utm_campaign=1113&utm_medium=Notification
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca

Editor: Kevin Helokpere, 30/06/2018 WIB

Jumat, 29 Juni 2018

,

Ilustrasi Operasi BARBAROSSA. tirto.id/Quita



Kegagalan Jerman di Russia
Perang di Moskow, Sepakbola di Kazan

Jika Jerman gagal pada 1941 karena tidak membawa pakaian musim dingin, Jerman di 2018 gagal karena tidak membawa penyerang sayap.
tirto.id - Musim Semi, Juni 1941. Di luar dugaan, Adolf Hitler mengeluarkan perintah kepada pasukan Nazi untuk menginvasi Uni Soviet. Kurang lebih empat juta serdadu, 19 divisi panser, sekitar 3.000 unit tank, 2.500 pesawat udara, serta 7 senjata artileri, dikerahkan. Serangan tersebut diberi nama khusus: Unternehmen Barbarossa. Operasi Barbarossa.

Misi invasi ini merupakan tindakan melanggar Pakta Molotov-Ribbentrop pada 1939. Pakta tersebut berisi kesepakatan non-agresi; kedua negara sepakat untuk tidak saling menyerang dan menjamin pengaruh masing-masing di wilayah yang telah ditentukan tanpa ada campur tangan dari pihak lainnya.

Namun situasi damai antara keduanya hanya berlangsung sebentar saja. Ketika Jerman menginvasi Polandia pada 1939 dan mengakibatkan pecahnya Perang Dunia II, Soviet juga mulai mengokupasi negara-negara di wilayah Balkan dengan mengirim tentara NKVD untuk menyerbu Lituania, Estonia, dan Latvia. Saat mulai memasuki wilayah Besarabia (utara Bukovina) yang merupakan bagian dari Rumania, Jerman menganggap Soviet sebagai ancaman terhadap suplai minyak mereka di daerah Balkan. Di sinilah awal mula rencana invasi Jerman ke Soviet.

Namun, terlepas dari analisis politik yang ada, tidak sedikit yang menganggap invasi Jerman tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari obsesi kebencian Hitler terhadap Soviet dan komunisme. Menurut Hitler, Soviet yang didirikan oleh kaum Bolshevik komunis turut dipengaruhi dan diatur oleh kelompok Yahudi. Sementara alasan lain terkait dengan motif ekonomi dan geopolitik.

Wilayah Soviet yang begitu luas dianggap Hitler memiliki posisi strategis serta dipenuhi oleh sumber daya alam yang dibutuhkan Jerman. Kondisi inilah yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat Lebensraum, cara pandang politik Hitler mengenai konsep tata ruang untuk hidup. Sebagaimana pernah ia kemukakan di bukunya, Mein Kampf.
Baca juga:

Di dalam kitab suci Nazi tersebut, Hitler menjelaskan bahwa rakyat Jerman membutuhkan ruang hidup, Lebensraum (tanah dan sumber dayanya), dan kedua hal tersebut bisa didapatkan di wilayah Eropa Timur. Ia juga menyebut betapa bangsa-bangsa Eropa Timur, yang sebagian besar adalah Slavia, adalah ras inferior yang sudah semestinya memiliki tuan.


Konsep Lebensraum yang disebut Hitler sebetulnya telah muncul di Jerman sejak Abad Pertengahan. Pada 1901, etnografer Jerman, Friedrich Ratzel, pernah menjelaskan bahwa untuk menyatukan wilayah-wilayah Jerman, diperlukan pemahaman mengenai pengaruh kondisi geografi. Maka untuk itulah ekspansi wajib dilakukan sebagai bagian untuk memenuhi ruang geografi tersebut.

Hipotesis Ratzel mengalami perkembangan pada 1912 setelah Jenderal Friedrich von Bernhardi menerbitkan bukunya berjudul: Germany and the Next War. Menurutnya, Lebensraum tidak hanya bermakna memecahkan masalah kondisi demografi, tetapi juga untuk menjaga agar Jerman tidak mengalami stagnasi dan degenerasi. Dan semua hanya dapat diwujudkan lewat peperangan serta ekspansi. Baik Hitler, Ratzel, maupun Von Bernhardi sepakat bahwa Eropa Timur adalah wilayah baru yang tepat untuk Jerman.
Kelak, Operasi Barbarossa yang dilakukan demi mewujudkan konsep Lebensraum tersebut bukan hanya gagal total, tetapi juga menjadi titik tolak kekalahan Jerman di Perang Dunia II. Dan, tentu saja, keruntuhan Nazi.
Awal Operasi Barbarossa: Blunder Mussolini.

Operasi Barbarossa pada mulanya akan dilaksanakan Hitler setelah menandatangani Perintah Perang Nomor 21 pada 18 Desember 1940. Di dalam dokumen tersebut tertulis: “Wehrmacht Jerman harus siap untuk menghancurkan Rusia dengan sesegera mungkin.” Namun, karena blunder salah satu sekutu terdekat Hitler, Benito Mussolini, rencana tersebut diundur menjadi 15 Mei 1941.

Kecerobohan Mussolini bermula ketika ia memerintahkan Italia bersama sekutunya, Albania, untuk menyerang Yunani dengan modal 500 ribu pasukan. Sebetulnya tak ada urgensi apapun dalam penyerangan ini. Mussolini melakukannya semata agar kekuatannya dengan Hitler menjadi lebih stabil.

Terlepas dari bagaimana kedekatan kedua diktator ini, Mussolini memang kerap menganggap dirinya adalah senior di antara tokoh-tokoh fasis kala itu. Maka ketika Hitler membuat Perancis menyerah hanya dalam waktu beberapa minggu, Mussolini yang tak mendapat bagian apapun dalam kemenangan tersebut, mulai merasa tersepelekan. Ada rasa iri dari Mussolini saat melihat keberhasilan Hitler yang secara pesat mampu membawa Jerman ditakuti seantero Eropa.

Sebelum melakukan serangan, pada 28 Oktober 1940, Mussolini menyuruh Duta Besarnya di Athena, Emmanuele Grazi, mengultimatum Perdana Menteri Yunani, Ioannis Metaxas, agar memberi akses bagi Italia. Metaxas menolak ultimatum tersebut dan memutuskan untuk berperang melawan Italia. “Ohi,” ucap Metaxas kala itu, yang berarti “tidak”. Hingga kini, Yunani masih merayakan “Ohi Day” untuk mengenang keberanian Metaxas.
Baca juga:

Yunani kala itu hanya memiliki tiga divisi, sedikit tank, dan minim angkatan udara. Walaupun demikian, Yunani ternyata dapat memberikan perlawanan yang luar biasa sengit dan membuat Mussolini keteteran. Kondisi geografis Yunani yang berbentuk pegunungan juga membuat armada Mussolini kesulitan melakukan manuver dan hanya menjadi sitting duck bagi tentara Yunani.


Pada 8 November, agresi Mussolini hancur berantakan. Kondisi Italia pun makin parah usai Angkatan Udara Inggris turun membantu Yunani. Berselang enam hari setelahnya, seluruh front Italia akhirnya berhasil dipukul dari perbatasan. Bahkan dua kota di Albania yang diduduki Italia juga turut dibebaskan.

Akibat blunder Mussolini tersebut, Jerman sebagai sekutu terdekat mereka, mau tak mau, terkena beberapa efek serius. Yunani, yang mulanya merupakan negara netral, tidak lagi mempedulikan perjanjian strategis dengan Jerman. Inggris mulai memiliki alasan untuk membentuk pangkalan udara di Yunani dan turut mengebom sumber minyak Jerman di Ploesti, Rumania. Sementara penundaan rencana Operasi Barbarossa membuat Jerman harus membagi beberapa divisi tempur ke front berbeda. Padahal sebelumnya seluruh divisi tersebut dapat digunakan untuk menyerang Soviet.

Cuaca Dingin dan Hitler yang Keras Kepala
Pada 22 Juni 1941, pukul 3.15 pagi waktu setempat, Jerman memulai Operasi Barbarossa dengan mengebom besar-besar tiap kota besar di Polandia yang dikuasai Soviet. Ada empat kelompok diturunkan Jerman dalam penyerbuan ini: Pasukan Utara, Timur, Tengah, dan Selatan. Kekuatan Jerman saat itu terdiri atas Angkatan darat yang memiliki pasukan berjumlah sekitar 8-10 juta personil dan tergabung dalam 250 divisi, 30.000 tank, serta 16.000 pesawat terbang.

Pasukan Utara yang dipimpin Generalfeldmarschall Wilhelm Ritter von Leeb menyerbu dari Prusia Timur dengan sasaran Leningrad (St. Petersburg). Pasukan Tengah di bawah komando Generalfeldmarschall Fedor von Bock berangkat dari Polandia melalui hamparan rawa-rawa luas Pripyat menuju Smolensk untuk kemudian ke Moskow. Sementara pasukan Selatan yang dipimpin oleh Generalfeldmarschall Gerd von Rundstedt bergerak ke arah Kiev dengan tujuan menguasai wilayah gudang pangan (gandum) di Ukraina serta sumber minyak bumi di Kaukasus.

Joseph Stalin, pemimpin Soviet kala itu, tidak mengira jika Hitler betul-betul akan mengkhianati perjanjian antara kedua negara. Ia sebetulnya sudah memiliki kesempatan untuk berjaga-jaga jika bersedia mendengarkan informasi dari mata-mata Soviet, Dr. Richard Sorge.

Sekitar satu minggu sebelum Jerman menyerang, Sorge yang juga tercatat sebagai anggota partai Nazi itu mendapat informasi rahasia bahwa Operasi Barbarossa akan dimulai pada 22 Juni. Ia pun menyampaikan hal ini kepada Stalin lewat surat. Namun, Stalin yang kelewat yakin bahwa perang tak akan berlangsung setidaknya sampai setahun ke depan, memilih mengabaikan informasi berharga dari Sorge tersebut.

Akibat sikap menyepelekan Stalin, alhasil Soviet dibuat babak belur pada fase awal invasi Jerman. Sekitar 3.000 pesawat Soviet luluh lantak dihancurkan oleh Luftwaffe, Angkatan Udara Jerman, hanya dalam tiga hari pertama serangan. Wilayah udara Soviet pun sudah praktis dipegang mereka.
Baca juga:

Pertempuran di darat pun memperlihatkan bagaimana Pasukan Merah Soviet yang memiliki keunggulan dalam jumlah tank dan perlengkapan lainnya, tetap tertatih-tatih menghadapi taktik blitzkrieg Jerman. Pada pekan pertama invasi berlangsung, pasukan Jerman berhasil menembus wilayah Soviet sejauh lebih dari 480 kilometer.


Babak pertama Operasi Barbarossa yang berlangsung lancar menimbulkan optimisme di benak Hitler. Smolensk berhasil direbut Pasukan Selatan pada pertengahan Juli. Pasukan Tengah dan Utara terus bergerak ke arah Sungai Luga usai mencapai tujuan besar pertama mereka: menyeberang dan mempertahankan jembatan darat antara Dvina dan Dnieper. Jalur ke Moskow yang kini tinggal 400 km jauhnya telah terbuka lebar.

Ketika para jenderal Nazi, seperti Halder, Guderian, dan von Kluge hendak bersiap menyerbu ke Moskow, Hitler memiliki rencana sendiri agar pasukan Utara dan Tengah pergi ke Ukraina untuk membantu pasukan Selatan yang terdesak. Selain itu, Hitler juga melihat kemungkinan jika Ukraina dapat menjadi sumber logistik pasukan Jerman, mengingat di sana merupakan wilayah penghasil gandum.

Pandangan Hitler ini mendapat tentangan dari para jenderalnya. Mereka semua berpendapat, dengan melihat jarak Moskow yang kian dekat, kota tersebut semestinya menjadi prioritas utama. Perbedaan pandangan ini menimbulkan debat hingga berminggu-minggu padahal serangan dapat segera dilaksanakan ke arah Leningrad.

Akhirnya, semua menuruti Hitler. Pada 25 Agustus 1941, Heinz Guderian, salah satu jenderal Nazi yang juga arsitek strategi Blitzkrieg Jerman, memberi perintah atas nama Hitler kepada seluruh pasukan untuk menyerang Kiev. Dengan jeda waktu yang cukup panjang usai jatuhnya Smolensk hingga kini menggelar serangan dengan target operasi berbeda membuat Operasi Barbarossa tidak dapat diselesaikan sebelum musim dingin.

Setelah melewati medan Ukraina yang sulit dan dikenal dengan sebutan 
rasputitza—sebuah kondisi dengan jalanan berlumpur yang menyusahkan, Jerman akhirnya berhasil mengepung Kiev pada akhir September. Sekitar 665 ribu tentara Soviet terkepung dan tertawan di Kiev. Jerman pun kembali ke misi utama mereka untuk merebut Moskow. Untuk ini, digelarlah operasi yang dinamakan: Operation Typhoon.
Baca juga: Audie Murphy, Sendirian Melawan Ratusan Serdadu NAZI

Operasi tersebut dimulai pada 2 Oktober. Jerman masih unggul dalam pertempuran melawan Soviet. Di Vyasma, di persimpangan jalan antara Smolensk dan Moskow, Jerman memenangkan pertempuran. Sebelas hari berselang, kurang lebih 650 ribu tentara Soviet berhasil ditawan berikut peralatan perang mereka seperti 5.000 meriam dan 1.200 tank. Hitler makin optimistis. Namun ini sebelum musim dingin mulai mencapai puncaknya menjelang akhir tahun.

Ketika musim dingin makin menyeruak, pasukan Jerman mulai kesulitan menembus medan pertempuran. Artileri dan kendaraan berat tertahan. Para serdadu banyak yang mati kedinginan karena memang tidak dipersiapkan untuk berperang di musim tersebut. Pada bulan November, seluruh petinggi Jerman menggelar rapat khusus untuk menentukan pilihan: tunda serangan sampai musim semi 1942 atau lanjutkan hingga musim dingin.

Hitler bersikeras: lanjutkan. Perintah tersebut tetap dijalankan, kendati tetap menuai protes dari jenderal-jenderal lain. Menurut mereka, keputusan Hitler tak ubahnya seperti upaya bunuh diri pelan-pelan. Inilah blunder Hitler yang kelak menyebabkan malapetaka bagi Jerman.

Dengan kondisi suhu yang terus merosot hingga minus 30 derajat dan salju yang turun makin lebat, pasukan Soviet yang juga dibantu dengan kaum buruh, berhasil memukul mundur pasukan Jerman yang kelelahan. Sebanyak kurang lebih 4 juta pasukan Soviet dan 800.000 pasukan Jerman tewas selama perang berlangsung sejak 22 Juni hingga 5 Desember 1941 tersebut.

Namun, Hitler yang masih keras kepala kembali memerintahkan Jerman untuk melakukan invasi ke Soviet. Dengan kondisi yang sebetulnya masih cukup babak belur, serangan tersebut kembali berhasil dipatahkan Soviet dalam Pertempuran Stalingrad: salah satu pertempuran paling berdarah dalam sejarah.
Infografik Operasi Barbarossa
Kekalahan Kembali di Tanah Rusia
76 tahun berselang, di atas rumput hijau Kazan Arena, Rusia, Jerman kembali mengalami kekalahan menyakitkan setelah usai takluk dari Korea Selatan 0-2 dalam laga pamungkas Grup F Piala Dunia 2018. Atas kekalahan tersebut, Jerman pun harus tersingkir dari fase grup Piala Dunia untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Jika dulu Jerman kalah karena blunder Hitler yang bersikeras melanjutkan perang tanpa membawa pakaian musim dingin (pendeknya: menyiapkan kondisi pasukan untuk menghadapi musim dingin), kini Joachim Loew dianggap melakukan keteledoran karena tidak membawa pemain sayap yang tajam Leroy Sane. Para pemain Jerman di Piala Dunia 2018, yang dengan tegas mengkritik para suporternya yang menyanyikan lagu-lagu dari era NAZI, gagal memperlihatkan kelasnya sebagai juara bertahan — dan membuat orang kembali mengingat keputusan Loew meninggalkan Sane.
Di Manchester City, Sane menjadi salah satu tokoh kunci keberhasilan klub itu meraih gelar Liga Primer Inggris. Catatan statistik pemain 22 tahun tersebut memang mengesankan. Bermain dalam 58 laga di Premier League, ia mencetak 15 gol dan 18 assists. Selain itu, ia juga menggondol sejumlah penghargaan individual seperti Men's PFA Young Player of the Year dan Premier League Player of the Month pada Oktober 2017 lalu.

Baca juga: Senjata Jerman di Piala Dunia: Fleksibilitas Permainan
Sebagai ganti Sane, Loew memilih Julian Brandt, winger Bayern Leverkusen yang juga berusia 22 tahun. Namun jika dibandingkan secara statistik, wajar jika banyak orang mempertanyakan pilihan Loew. Dilansir Whoscored, Brandt telah memainkan total 44 laga bersama Leverkusen musim lalu dan hanya mencetak 12 gol serta 3 assist.

Loew pun 
memberi penjelasan: "Situasi sangat ketat, keduanya (Sane dan Brandt) memiliki kualitas yang sangat baik, terutama dalam hal kecepatan dan menggiring. Julian Brandt bermain bagus saat Piala Konfederasi dan juga sangat bagus saat latihan. Sungguh, sangat ketat."
Bisa jadi Loew memang jemawa mengingat di Piala Konfederasi ia juga menurunkan skuat lapis kedua dengan mayoritas pemain muda dan tetap berhasil menjadi juara. Di dalam skuat Piala Konfederasi terdapat tujuh nama baru yang belum pernah membela tim nasional sebelumnya.

Mereka adalah Kerem Demirbay, Sandro Wagner, Amin Younes, Diego Demme, Kevin Trapp, Marvin Plattenhardt, dan Lars Stindl. Tidak semuanya berusia muda. Stindl dan Wagner, yang tertua di antara semuanya, berusia 28 dan 29 tahun.

Baca juga: Toni Kroos dan Persoalan-Persoalan Taktik Timnas Jerman
Selebihnya adalah pemain-pemain yang sudah beberapa kali membela tim nasional, namun masih minim pengalaman. Shkodran Mustafi dan Antonio Rudiger, keduanya bek tengah. Jonas Hector baru menjadi pemain utama pada Piala Eropa 2016. Bernd Leno, Marc-Andre ter Stegen, serta Sebastian Rudy yang baru membela tim nasional sebanyak lima belas kali. Lalu ada Julian Draxler, pemilik jumlah penampilan terbanyak di antara semua pemain Piala Konfederasi, yang bahkan baru pernah turun dalam 30 pertandingan bersama Jerman.

Tanpa Sane, pasukan Jerman benar-benar kehilangan kreatifitas saat menghadapi lawan-lawan yang memasang garis pertahanan rendah. Brandt, Mueller dan Timo Werner yang diandalkan oleh Loew, gagal memberikan variasi serangan yang dibutuhkan untuk menembus pertahanan Meksiko dan Korea Selatan. Marco Reus sempat memberikan harapan saat bermain baik ketika mengalahkan Swedia, namun ketajamannya tak tampak di laga terakhir. 

Kelincahan, kecepatan, dan ketajaman Sane bersama City di atas kertas dapat memberikan dimensi penyerangan yang berbeda. Namun Loew sudah mengambil keputusan, dan sejarah mencatatnya gagal kali ini.Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan menarik lainnya Eddward S Kennedy(tirto.id - Olahraga
Sumber Data:  (https://tirto.id/kegagalan-jerman-di-rusia-perang-di-moskow-sepakbola-di-kazan-cNd3?utm_source=PushNotif&utm_campaign=1113&utm_medium=Notification)

Penulis : Eddward S Kennedy

Editor: Kevin Helokpere





,

Dokumentasi (Kevin Alom dan Julian Kulla)

"SEMINAR DAN MUSYAWARAH BESAR, ORGANISASI (IPMAP) KABUPATEN PUNCAK ILAGA SE - JAWA DAN BALI (DIHADIRI OLEH BUPATI KABUPATEN PUNCAK PAPUA) DI KOTA BATU MALANG, JAWA TIMUR TAHUN 2014/2015"


Dengan Thema :

''Membangun Sinergitas Dan Intergritas Mahasiswa Puncak Sebagai Calon Pemimpin Profesional Dan Berkarakter"

Sub - Thema :

"Melalui Musyawarah Besar Ini Menciptakan Kaderisasi Dan Regenerasi Mahasiswa Puncak Yang Kreatif, Inovatif Dan Berwawasan Global Untuk Menghadapi Tantangan Era Globalisasi Dan Modern"


Penanggung - Jawab Kegiatan MUBES IPMAP

Badan Pengurus Pusat, Ikatan Pelajar Dan Mahasiswa Kabupaten Puncak Ilaga (BPP IPMAP) Se - Jawa Dan Bali adalah sebagai berikut :
  1. Ketua (Klemens Wandagau)
  2. Wakil (Jerry Alom)
  3. Sekretaris (Nes Tabuni)
  4. Bendahara (Martince Wenda)
Dan beberapa devisi - devisi sesuai dengan kebutuhan organisasi dalam melaksanakan tugas dan tanggung - jawab yang tersusun.

 PELAKSANA KEGIATAN MUBES IPMAP

Panitia Pelaksana (PANPEL) kegiatan Musyawarah Besar (MUBES) "Ikatan Pelajar Dan Mahasiswa Kabupaten Puncak Ilaga" (IPMAP) Se - Jawa Dan Bali Tahun 2014/2015 adalah sebagai berikut :
  1. Ketua (Jamal A. Uamang)
  2. Wakil Ketua (Herdi Alom)
  3. Sekretaris (Julian Kulla)
  4. Bendahar (Yuniana Wandik)
Dan beberapa koordinator yang telah bersedia untuk melaksanakan atau menyelenggarakan kegiatan (MUBES - IPMAP) Se - Jawa Dan Bali Tahun 2014/2015




Sumber Data : (Mr. Klemens Wandagau) https://www.youtube.com/watch?v=DbJ47vPoyL4
Penulis : (Herdi Alom)
Editor : (Kevin Helokpere) 30/06/2018 WIB
Contac Person : (082131458533)
Alamat E-Mail : ( freewestpapua23@gmail.com )





Follow Us Instagram @farid_hasbullah